Sabtu, 13 September 2014

Terima Kasih Ibu Anak-Anakku...

Di dalam hadist, Rasulullah Muhammad SAW menyebut 3x  berturut-turut ketika sahabat bertanya tentang orang yang paling kita hormati yaitu Ibumu baru yang ke-4 Bapakmu. Aku sudah mendengar bunyi hadist tersebut dari kecil karena aku lahir dan dibesarkan di daerah pesantren, sedangkan penerapan hadist tersebut baru aku rasakan setelah menikah dan memiliki anak.
Mulai dari embrio sekitar minggu ke 4 atau masuk bulan 1 masa kehamilan, aku melihat istri sudah mulai mual dan muntah-muntah, karena terlalu sering mual dan muntah2 terkadang bisa dalam 1 hari lebih dari 1 kali maka kalau istri sedang muntah2 biasanya ia minta dibawakan air minum hangat maka akupun berlari mengambil air minum hangat untuk kumur2 dan minumnya. Setelah ia minum nampak di wajah dan badannya basah dengan keringat akibat menahan muntah yang cukup lama. Mual dan muntah istriku terus berulang sampai usia kandungan sekitar 4 bulan. Pernah ia bilang bahwa muntah itu baru berhenti kalau sudah mengeluarkan warna kuning dari lambung. Mendengar ucapan istri seperti itu aku ingat hadist itu...dalam hati saya berkata "Ya Allah....begitu besar perjuanganmu Ibu anak-anakku."
Setelah bulan ke 4, mual dan muntah sudah berkurang namun beban di rahim sudah semakin besar sehingga beberapa gerakan sudah mulai melambat. Ketika berjalan terkadang sambil memegang perut, saat duduk juga terkadang sering memegang pinggang, suhu tubuh meningkat sehingga suka yang dingin-dingin, dan amat sangat sensitif terhadap bau-bauan. Terkadang ketika naik mobil tidak mau memakai pendingin mobil katanya bau sehingga untuk meringankan mungkin hawa panas di dalam mobil maka kaca mobil dibuka atau membawa kipas tangan. Istriku amat senang jika Ibuku (kandung atau mertua) yang sudah bergelar nenek mengusap-usap perutnya yang semakin membesar. Dia bilang bahwa tangan nenek2 atau tangan anak kecil "adem" jika memegang perut orang yang sedang hamil.
Menjelang minggu ke 40 atau usia kandungan 9 bulan, merupakan masa penantian buah hati lahir. Masa melahirkan merupakan masa perjuangan hidup/mati seorang ibu. Beliau ikhlas mengorbankan apapun untuk dambaan hatinya termasuk nyawanya. Mulasnya tak tergambarkan dengan kata-kata, dan jauh melebihi sakit perut yang paling mulas yang pernah kita rasakan. Saat menakutkan ketika wanita sedang hamil dan sebaliknya saat yang dinanti saat wanita sedang hamil. Terima kasih ibu dari anak-anakku...
Kami mempumyai 3 buah hati yang karakter kelahirannya berbeda-beda. Anak pertama lahir setelah berdiam selama 2 hari 1 malam di rumah sakit Mekar Sari Bekasi pada hari Jumat tanggal 8 Mei 1998 dengan jenis kelamin wanita. Anak kedua lahir amat sangat mudah dan di luar perkiraan bidan dan dokter kandungan. Ia lahir di rumahku saat aku sedang mengajar tambahan di daerah Mampang Jakarta Selatan. Alhamdulillah di samping rumahku ada seorang bidan yang baik hati (semoga Allah memberikan tempat yang layak di sisiNya karena beliau telah wafat) sehingga persalinan istri dan anak keduaku dapat tertangani dengan baik. Sekitar pukul 20.30 aku baru sampai di rumahku yang berada di Bekasi telah diamanahkan lagi seorang anak mungil berjenis kelamin laki-laki, tepatnya hari Senin tanggal 6 November 2000. Rasa syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan sepasang anak perempuan dan laki-laki, sehingga kami merasa menjadi manusia sempurna di Bumi ini.
Pada tahun 2003, Alhamdulillah Aku dan Ibuku bisa menunaikan rukum islam yang ke-5 yaitu pergi Haji. Karena keterbatasan biaya dan keikhlasan istriku dan kedua mertuaku Alhamdulillah sudah haji (maafkan dan terima kasih ya Mah...) sehingga aku tidak bisa mengikutsertanya. Istriku tahu benar perjuangan Ibuku yang mengantarkan aku menjadi seperti sekarang ini,  karena telah ditingal suami untuk selama-lamanya ketika aku berada di kelas 2 SD. Kami ikut rombongan reguler tanpa memakai yayasan bimbingan haji kecuali yang diberikan dari pemerintah dan masuk kloter 31. Haji pada tahun 2003, merupakan tahun pertama diterapkannya transportasi "shutle" ke Arafah dan Mina. Karena aturan baru akhirnya terjadi macet total dari jam 01.00 dinihari  sampai siang sehingga banyak jamaah yang tidak terangkut dari Mudzdalifah ke Mina. Aku dan rombongan akhirnya memutuskan untuk berjalan dari jam 06.00 waktu setempat menuju pemondokan di Mina yang jaraknya sekitar 5 km. Untuk seusiaku (32 tahun saat itu) jarak itu tidak begitu jauh namun untuk ibuku yang saat itu usianya sekitar 65 tahun amat sangat berat, ditambah lagi saat berangkat kaki kanan ibuku sudah sakit jika berjalan. Dalam keadaan berihrom (memakai pakaian hanya 2 lembar), kedua tanganku menjinjing tasku dan tas ibuku dengan sabar. Aku dan Ibu berjalan pelan jauh tertinggal dari rombongan yang memang usianya jauh di bawah usia ibuku. Perasaan haru yang membayangkan bagaimana kalau ada orang yang seusia ibuku atau lebih tua lagi yang tidak didampingi putra/putrinya, mungkin akan tersesat di padang pasir yang penuh dengan jutaan manusia dengan warna pakaian dan pemondokan yang sama. Sekitar jam 11.30 aku dan ibu sampai dipondokan, tak terasa kedua lenganku berdarah akibat gesekan tasku dan tas ibuku selama perjalanan hampir 5 jam. Istirahat sebentar setelah shalat dzuhur kami lanjutkan dengan melontar jumroh lalu tawaf haji dan tutup dengan tahalul (potong rambut) maka selesailah kewajiban haji.
Sekitar satu tahun setelah pulang haji, aku dikaruniai seorang putra lagi. Tepatnya pada hari Selasa 25 November 2003 di poliklinik 24 jam di Bekasi. Melahirkan anak yang ke 3 ini juga tergolong lancar karena terjadi setelah salim saliman dengan sanak family di Iedul Fitri. Rata-rata anakku mendapat ASI selama 2 tahun, istriku memang tidak bekerja di luar rumah sehingga kasih sayangnya 100% untuk anak-anakku dan tentu juga aku. Dulu sebelum menikah dia adalah guru SD dan Madrasah di dekat rumahku, namun ketika kami sudah memiliki anak pekerjaan itu dilepas agar bisa fokus untuk urus anak dan suami (terima kasih Ibu anak-anakku...)
Keikhlasannya membolehkan aku dan ibuku berangkat haji bersama mungkin yang menyebabkan ia juga mendapat panggilan Allah untuk menunaikan rukum islam yang ke 5 pada tahun 2008. Saat itu kaka kandungnya mau berangkat haji, maka aku tidak ragu lagi untuk menitipkan istriku padanya. Untuk meringankan tugas kakanya yang berangkat dengan suaminya maka istriku juga aku masukan ke yayasan haji di dekat rumahku. Alhamdulillah secara umum berjalan dengan lancar walaupun saat itu pemondokan jamaah haji Indonesia sangat jauh dari Masjidil Haram di kota Mekkah. Istriku cerita, untuk bisa ke Masjidil haram tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki dan harus naik bus atau naik kendaraan umum 3x baru sampai.
Sekarang anak pertamaku sudah kelas XI SMA, anak ke 2 sudah kelas IX di sekolah tempat aku mengajar yaitu Labschool Jakarta, sedangkan yang ke 3 baru kelas V SDN 03 Puloasem Jakarta Timur. Sejak tahun 2012, saya dan keluarga meninggalkan kota Bekasi yang merupakan kota kelahiran kami sekeluarga. Selama 1 tahun ngontrak, Alhamdulillah diberikan kemudahan oleh Allah sehingga bisa membeli rumah mungil di gang yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan motor di Jalan Pemuda Asli III Rawamangun Jakarta Timur. Untuk bisa ke SMA atau SMP Labschool kedua anak&hyku tidak perlu transportasi lagi cukup dengan jalan kaki selama 5 menit sudah sampai, kecuali anak ke 3 ku yang harus diantar dan dijemput karena jaraknya sekitar 3 km dari rumah dan melalui beberapa jalan raya yang padat kendaraan. Istriku di luar memang tidak memiliki pekerjaan tetapi pekerjaan di rumah sampai antar jemput anaku, ia yang jalankan. Kwalitas dan kwantitas pekerjaanku jika dibandingkan dengannya tidak ada apa-apanya walaupun aku sering pulang malam karena harus mempersiapkan kegiatan siswa yang tergolong banyak di Labschool. Pernah saat aku libur sekolah, istri ijin untuk reunian di pesantren tempat ia belajar. Aku merasakan begitu berat sekali, pagi-pagi sudah harus menyiapkan sarapan anak2ku, merapikan rumah, mengantar dan menjemput anak dengan waktu yang sudah ditentukan terlambat sedikit anak cemberut karena "BT" lama menunggu lalu memberikan memberikan penjelasan kepada anak kenapa bisa terlambat. Mencuci dan menstrika pakaian pada hari aktif sekolah sementara pada hari libur mereka bisa mencuci dan menstrika pakaian sendiri-sendiri. Terkadang juga beban anak yang nilai ulangan hariannya atau tugas sekolahnya masih di bawah KKM sementara semangat belajar anak masih belum nampak. Tampa keikhlasan seorang ibu maka ia akan cepat stress, yang katanya hanya ada di sumur, dapur, dan tempat tidur. Namun jika ia selalu ingat bahwa kedudukannya amat sangat tinggi di hati anak-anaknya, dan juga ada hadist yang lain yang mengatakan "surga itu di bawah telapak kaki ibu" serta di dalam Al Quran yang mengatakan janganlah kamu berkata "ah" kepada orang tuamu namun kita harus berkata lemah lembut dengan kasih dan sayang maka semua letih dunia itu akan lunas terbayar. Terima kasih Ibu anak-anakku...I love you FULL.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar