Sabtu, 27 Februari 2010

Tetesan Embun dari "BOIM-1"

Pagi-pagi sekali Boim (bukan nama sebenarnya) sudah bangun, entah apa yang membuat ia bangun dini hari saat sebagian besar manusia terbuai oleh mimpi dan dekapan selimut tebal dari hembusan udara dingin di musim hujan. Terdengar suara batuknya yang khas dan cidukan serta percikan aliran air seakan menyaksikan apa yang dilakukannya saat itu.

Boim merupakan anak yang pintar di kelasnya, ia sangat disayangi oleh guru-gurunya apalagi Ibu Ida, guru bahasa indonesia di SMP Islam Terpadu Harapan. Sejak kelas II SD, ia sudah harus belajar mandiri karena ditinggal ayah tercintanya. Saat itu ayahnya sedang membawa barang dagangan untuk dijual di pasar, namun diperjalanan ia ditabrak lari oleh pengendara motor sampai nyawanya tak dapat ditolong lagi di rumah sakit.

Semenjak itu, ketika pulang sekolah ia harus membantu ibunya mencari nafkah, dengan turut serta mejadi pencabut rumput tanaman padi di sawah. Walaupun pekerjaan itu umumnya dilakukan oleh ibu-ibu yang sudah cukup usia namun tak menyusutkan semangatnya untuk meringankan beban ibunya. Boim memiliki empat kakak yang telah menikah karena perekonomian mereka hanya pas-pasan saja, sehingga tidak bisa dijadikan tumpuannya. Menjelang maghrib pekerjaan mencabut rumput selesai kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji di Musholla dan belajar mandiri di rumah, itulah aktivitas rutin Boim.

Hasil usaha mencabut rumput padi di sawah selalu ia berikan kepada ibunya setiap minggu karena bayarannya mingguan. Tanpa sepengetahuannya hasil usaha itu ditabungkan oleh ibunya dan dibelikan seekor kambing. Boim kecil merasa terharu dan bersyukur telah memiliki seekor kambing, dalam hati ia akan menjaga dan memelihara pemberian ibunya itu. Kini pekerjaan Boim bertambah selain membersihkan rumput padi di sawah, ia juga harus mencarikan rumput untuk kambingnya. Pekerjaan itu ia jalankan tanpa beban dan berharap kambingnya akan sehat kemudian melahirkan anak-anak kambing yang sehat dan banyak.

Mejelang kelulusan SD, Boim sakit panas. Tubuhnya menggigil, dadanya sesak, dan dikepalanya seakan ada ikatan beban yang sangat berat. Boim mengerang seakan sedang menahan dan membangkitkan kekuatan dari dalam dirinya untuk melawan semua itu, namun usahanya seakan sia-sia. Ibu dan kakak-kakaknya hanya bisa berdoa sambil berucap kalimat-kalimat Illahi. Ada warga yang menganjurkan agar Boim dibawa ke Puskesmas terdekat untuk diberikan obat, namu ada juga yang berkeyakinan Boim terkena Jin tertentu ketika sedang mencari rumput untuk kambing-kambingnya. Mereka semakin panik ketika boim batuk sambil mengeluarkan darah dari mulutnya. "Astaghfirullah...kamu sakit apa naaak?" tangis ibunya sambil membersihkan darah yang ada di mulut Boim. Malam semakin larut dengan diiringi nada rintik-rintik hujan yang mengenai daun-daun pisang di samping rumah Boim.

Pagi harinya Boim di bawa ke Puskesmas, dokter di Puskesmas memeriksanya "sudah berapa lama ia menderita panas ini?" tanya dokter ke kakak Boim tertua. Semua diceritakan oleh kakak Boim, lalu dokter memberikan obat penurun panas dan menganjurkan agar Boim di bawa ke Rumah Sakit Umum yang ada di Kabupaten, karena dikhawatirkan Boim terkena penyakit saluran pernapasan. Setelah minum obat Boim baru bisa tidur dan panasnya berangsur-angsur menurun. Keluarga dan para tetangga merasa lega melihat Boim sudah mulai membaik dan bisa tidur.

Tiga hari Boim tidak masuk sekolah, semua guru-gurunya turut menjenguk dan mendoakan kesembuhannya. Boim hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah membantu sehingga ia bisa sembuh kembali. Anjuran dokter puskesmas yang mengharapkan agar Boim di bawah ke RSUD tidak diturutkan keluarga Boim karena tidak memiliki uang kecuali 3 ekor kambing Boim, Satu induk dan dua anak kambing yang besar-besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar